Sunday 21 November 2010

Cerpen Kilat

Renungan Harian Organisatoris
Oleh: Uli Febriarni

Aku berdiri di kamar kostku yang begitu gelap, hanya ada cahaya lampu atap koridor di depan kamar yang mengintip dari ventilasi jendela. Nafasku teratur dan terdengar begitu sayup di telingaku sendiri. Jam yang menempel di dinding menunjukkan pukul 00.30 WIB. Aku tak peduli dengan jarum panjang dan pendek yang tak lama lagi akan berubah menandakan hari lebih pagi lagi, masih ada banyak hal yang aku renungkan dalam kegelapan ini. Ada banyak pertanyaan yang memenuhi benakku,
ada banyak hal yang aku pikirkan hingga kepalaku terasa berat. Mataku tak mampu kupejamkan sedari pukul sepuluh malam tadi. Sebagai seorang manusia yang menjadi ciptaan-Nya aku berpikir apa saja yang sudah kulakukan selama sembilan belas tahun usiaku ini. Sudahkah ada keseimbangan antara baik dan buruk dalam hidupku. Sebagai seorang anak aku berpikir apa yang sudah kulakukan untuk membuat orang tuaku tersenyum. Sebagai seorang mahasiswa aku memikirkan apa saja yang sudah kuusahakan agar nilai IP ku tak seburuk yang aku bayangkan. Dan sebagai seorang aktivis organisasi, aku berpikir apa saja yang sudah aku lakukan untuk menciptakan perubahan di lingkungan sekitarku.
“Ah…ya Tuhan, kenapa ada banyak sekali yang kupikirkan? Kenapa aku tak bisa santai sedikit menjalani hidup ini?”, tanyaku pada diriku sendiri sembari memukul lantai yang kualasi dengan karpet hitam, warna favoritku.
“Ya…aku punya banyak rencana dalam hidupku, akan tetapi kenapa belum satu pun yang bisa kuwujudkan? Kenapa aku masih saja menjadikan itu semua sebagai mimpi dan luapan anganku yang menggejolak tanpa realisasi yang pasti?”, aku mengeluh lagi.
“Ya Tuhan, apakah aku selalu dan akan terus menumpuk rencana-rencana itu sendiri? Apa tak ada petunjuk dan pertolongan dari-Mu agar aku segera dapat menjadikan planning-planning yang sudah mantap itu untuk menjadi suatu praktis yang real? Oh……cukup sudah jejalan pertanyaan ini kuungkapkan. Aku sudah lelah menumpuk rencana di kepalaku, aku capek mencari jalan untuk mewujudkan itu semua. Aku masih kurang bekal untuk melakukan itu semua. Sudahlah. Ya Tuhan, jadikanlah aku hamba-Mu yang tak banyak menyimpan angan dalam hatiku, namun jadikan semua yang kuinginkan itu kujadikan suatu tindakan yang nyata, tak hanya terpendam, terendap dan membusuk begitu saja dalam hidupku. Sangat singkat waktu yang Kau berikan untukku menjalani hidup, kujadikan saja sebagai waktu yang tepat untuk memenuhi janjiku pada-Mu yang belum jua kupenuhi. Berikan pada hamba kesempatan untuk menjalani hidup ini dengan mengalir dan menjalani semua dengan lebih tenang, sabar dan penuh ketenteraman serta kenyamanan”, cukup untukku evaluasi singkat malam ini. Kubaca doa yang selalu kuhaturkan setiap malam, aku harap tidur lelapku malam ini dilindungi oleh malaikat-malaikatNya. Amin.
Pukul 10.45 WIB membuatku mempercepat langkahku menuju kelas di lantai tiga kampus. Sapa singkat memenuhi derap kakiku. Hm…cukup banyak orang yang kukenal sepanjang kuberjalan. Aku belum terlambat. Kujalani kesendirianku di kelas, bukan sendiri dalam arti aku hanya sendirian di kelas. Namun tak ada satupun mahasiswa yang mau duduk dekatku dengan perasaan antusias dan menerima. Yah..kebanyakan dari mereka menerima karena bangku lain sudah penuh, hanya bangku di dekatku yang masih kosong. Aku selalu berpikir hal ini wajar-wajar saja. Tapi kelamaan hal ini menjadi suatu pikiran tersendiri untukku. Ya… memang aku tak pernah menjalin hubungan yang empati dengan mereka, atau menyempatkan diri untuk lama-lama dengan mereka. Hanya sekedarnya saja aku berada bersama mereka. Karena apa yang mereka lakukan hanya berkutat dengan hal yang ‘itu-itu saja’, aku kurang dapat ‘hal baru’ kala aku bertukar pikiran dengan mereka. Teman-teman jadi tak mengenalku, yah..otomatis mereka tak akan ada yang bisa dekat denganku.
Hari ini ada diskusi mengenai kebijakan kampus yang banyak memicu pertanyaan dari kami, mahasiswanya.
“Loh, kenapa kita kudu mbayar mahale ra ketulungan padahal dosen awake dhewe ki sering meninggalkan kita karena bisnisnya sendiri?”, ujar Nadin dengan logat Jawanya yang masih kental bercampur bahasa Indonesia.
“Ya, itu sama saja mereka tidak memikirkan hak kita sebagai mahasiswa. Oke, mencari bisnis dan penghidupan itu adalah hak asasi mereka, tapi bukankah mereka juga tahu kalau hak asasi manusia itu dibatasi oleh HAM yang lainnya?”, tambah Olvie, gadis yang paling kuning sendiri diantara kami dan bermata sipit yang jadi koordinator departemen kampus dan pengembangan SDM di LEM.
“Oh…iya, mending kita cari beasiswa aja prend! Kan kita gak akan terlalu diberatin sama kebijakan bayar mahal ini, bo?”, Nina yang satu ini memercikkan pendapatnya yang lain lagi.
“Iya! Apa yang barusan kalian ungkapkan benar semua. Padahal kalau pendidikan murah, Indonesia juga yang diuntungkan. Taraf hidup bisa lebih baik kalau kecerdasan SDM-nya bagus, kriminalitas juga tidak akan marak seperti saat ini. Tapi akan lebih tenteram lagi kalau semua rakyat di Indonesia berpendidikan. Emosi lebih terkontrol karena yang lebih mayor nantinya akal sehat yang berperan kalau mereka bertemu masalah yang pelik”, aku sedikit mengutarakan pendapatku yang kemudian didukung oleh Olvie.
“Terus??......”, tanyaku.
“Maksud Rasha??”, Nina mulai menunjukkan raut bingungnya.
“Siapa yang berani mengajukan wacana ini ke dekan kita? Dan merubah semua?”, jelasku.
“………..???.............”, gelengan kepala mendominasi diantara mereka, termasuk Olvie. Aku memantapkan niat dalam batin.

****************************

Esoknya, saat mentari masih hangat menyinari kulitku yang sawo matang ini, aku berjalan menuju ruang dekan. Dengan tenang aku duduk bersama dekan yang terkenal begitu ‘sangar’, tentunya setelah dipersilahkan masuk sebelumnya.
“Pak, bagaimana bapak menyikapi dosen yang sering meninggalkan kami di kelas?”, to the point kuajukan.
“Tunggu dulu lah, maksudmu itu, meninggalkan karena hal yang urgent atau karena hal lain?”, Tanya Pak April, dekan berjenggot tebal yang hitam legam.
“Meninggalkan kami karena mengurusi bisnis pribadinya”, lanjutku lagi.
“Loh, hal seperti itu kamu persalahkan? Kamu bahas?, bukankah bisnis itu juga perlu untuk diperhatikan? Itu untuk hidup mereka juga. Mereka juga belum tentu selalu jadi dosen terus. Biarkanlah mereka mengembangkan bisnis mereka”, jawaban yang sudah kubayangkan terlontar sudah.
“Pak, kami juga butuh ilmu, Pak. Mereka jangan seenaknya dong meninggalkan kami yang sudah dengan sabar mau meninggalkan kesenangan kami untuk hadir dan datang ke kelasnya. Akan tetapi malah ditinggal pergi karena urusan pribadi yang belum tentu akan memberikan keuntungan pada kami. Makan gaji buta namanya. Terus kami bayar apa tiap semester...............Belum lagi........... ”, belum usai kalimat terakhir, Pak April memotong pembicaraanku.
“Oh….jadi maksudmu kamu juga mau dapat untung dari bisnis mereka itu agar mereka mau membiarkan mereka mengembangkan bisnis mereka itu?”
“Pak, bukan begitu maksud saya, bisnis mereka tak ada untungnya bagi kami, mereka justru merugikan kami yang sudah bayar pendidikan di sini. Sudah mahal, Pak. Masa’ kami mau ditelantarkan saja dengan tugas-tugas yang belum jelas tujuan dari analisis kasusnya itu. Tanpa ada tambahan ilmu dari mereka karena mereka telah meninggalkan kami. Kami bayar untuk ilmu, Pak. Kami merasa dirugikan kalau ternyata uang kami untuk membayar dosen yang bolong-bolong mengajar kami. Kalau bolongnya itu tidak sering dan karena urusan mendadak sih kami bisa terima, Pak. Tapi kalau karena hal yang saya sebutkan dari tadi, kami tak terima! Kalau bapak tidak segera menanggapi hal ini dengan tindakan yang riil untuk mengurangi perkuliahan yang tidak efektif karena egoisme dosen ini, maka jangan harap bapak bisa duduk di ruangan ini dalam waktu yang lebih lama lagi! Ingat, ada republik mahasiswa disini yang juga punya otoritas, Pak! Itu saja dari saya Pak! Saya permisi, assalamu’alaikum”, aku berjalan keluar dari ruangan dekan yang sejuk dan wangi itu, meninggalkan dekan yang masih terdiam sedari usai mendengarkan penjelasan dariku.

*********************

Seminggu penantianku akan sikap bijak dekan. Aku termenung di salah satu sudut ruangan dalam basecamp Himpunan Aksi Mahasiswa Kampus, organisasi pergerakan yang kuikuti sejak setahun lalu. Aku terduduk lemah, lesu. Aku berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan buruk yang justru akan muncul setelah aku adu argumen dengan dekan seminggu yang lalu.
“Kamu kenapa,Sha?”, Olvie menyandarkan lengannya di bahuku.
“Gak apa-apa, Vie. Aku cuman khawatir aja sama nasibku ni..”
“Khawatir bagaimana sih, Sha?”, aku cukup heran juga melihat wajah Olvie yang malah tersenyum mendengar kalimat yang baru saja kulontarkan tadi.
“Stay calm honey, ini nih…kamu baca dulu. Edisi baru kok!”, Olvie meninggalkan aku. Kini aku sendiri lagi di sini, masih duduk dengan bingungnya. Aku merasa cukup untuk banyak berpikir, akhirnya kupasrahkan saja semua usahaku pada-Nya. Senyumku terkembang ketika kubaca straight news tabloid persma kampusku.

“Terhitung mulai 3 Mei 2008 esok, SK baru mengenai kebijakan dilarangnya dosen untuk meninggalkan jam mengampu akan mulai diberlakukan. Mengenai kebijakan ini, akan disosialisasikan kepada dosen di ruang rapat dekanat sekitar pertengahan bulan April besok. Kebijakan ini dianggap dekan sebagai bentuk keberpihakan dan perhatian kampus, pada usaha pengembangan kualitas mahasiswa. Dekan berpandangan bahwa kebijakan ini ada karena muncul atas dasar keperihatinan dari pihak kampus mengenai tidak sedikitnya kelas yang kosong karena dosen pengampu mata kuliah yang bersangkutan pada jam tersebut memiliki kepentingan pribadi yang bersifat menguntungkan dosen secara pribadi, seperti bisnis contohnya. Bersambung hal 26 kol3….”


Tak perlu lagi kulanjutkan kisahku, saat itu juga aku mengamini isi artikel itu dalam butir air mata perlahan. Satu per satu orang yang berada di ruangan itu menepuk bahuku, yang semakin terisak membaca halaman rubrik utama tabloid tersebut.

0 komentar:

Post a Comment