Sunday 21 November 2010

sebuah cerita pendek

Gara-Gara Headline
Oleh: Uli Febriarni

Getaran dan guncangan yang menyerang dadaku masih terasa sesak, lebam di tulang pipiku belum lekas hilang dari tempatnya.
“Kayaknya masih lama neh ilangnya”, ujarku pada Dimas, teman lembaga dari koperasi mahasiswa di kampusku yang saat ini menemani aku dirawat di Rumah Sakit Glory Road selama tiga hari ini .
“Emangnya kerjaan gue beresiko banget apa yak Dim? Masa’
cuman gara-gara gue buka kartu mereka, gue jadi begini. Padahal kan enggak ada salahnya gue ngasih tahu khalayak kampus buluk-buluknya mereka. Enggak sengaja sebenernya cuy! Toh justru mereka bersyukur dong! Jadi mereka diperhatiin”, ngilu di tulang pipiku masih sangat terasa tiap kali aku menggerakan rahangku.
“Elo diem dulu! Lagi diobatin geh ngoceh melulu elonya mah!”
“Iya iya. Ih Wow!!!!”, erangku ketika perawat yang berjilab biru muda itu mengolesi lukaku dengan Betadine, sambil mengingat bentakan demi bentakan Wati, Kepala Departemen Kajian Isu Nasional dari BEM, dan mantapnya pukulan demi pukulan yang meluncur indah (hah??!!) dari kepalan kekar tangan Fandi, Kepala Departemen Jaringan dan Advokasi Massa. Selanjutnya, Dimas membawaku ke rumah sakit, ternyata tulang pipiku retak. Akhh....

Paginya, sebelum kejadian naas itu menimpaku,
Aku berlari menuju ke anjungan komputer di teras depan kampus. Sekitar pukul sepuluh saat itu, aku baru saja menjenguk Imam Diaz yang sakit flu berat di sekretariat organisasi yang telah membangun pandangan hidupku selama dua tahun ini. Tanpa menunggu loading komputer yang (biasanya) lambat, aku searching website Executive e-News. Media berita mingguan milik BEM universitas, dimana aku menjadi redaktur, sekaligus merangkap editor bahasa disana. Berita yang semalam baru saja selesai aku ketik di kantor, dan belum sempat aku edit sudah terpampang menjadi headline untuk Executive e-News minggu ini.
”Arrrgh........”, teriakku sambil menarik kerudung hitamku sampai poni rambutku terlihat. Mahasiswa di sekelilingku memandangku dengan aneh dan keheranan.
”Mbak gak apa-apa kan?”, tanya Imelda, nama gadis itu kalau tidak salah. Karena ia pernah magang di Executive e-News. Semasa aku masih menjadi sekretaris redaksi.
”Hehehe...enggak. Enggak apa-apa kok”, ujarku sambil nyengir kuda dan membenahi kerudungku, ketika kusadar ada rambut yang mengintip.
Tak ada hal yang istimewa yang tertulis disana, hanya saja kalimat yang lugas, tanpa editing yang membuatku sedikit shock!. Bagaimana tidak kaget kalau kalimat-kalimat yang seharusnya di ”sensor” justru tertulis jelas.
”Mampus gue! Gue kan udah janji yang ini off air. Malah ketulis lageee!!! Adooohh…..gara-gara gue nulisnya semalem pas ngantuk seh! Addooooh.....kena deh gue sama Fandi! Yang gue khawatirin malah kejadian. Nah ini nih! Pasrah lah gue”

Di Kantor BEM,
Seperti biasanya, Amie bertugas mengambil koran langganan dari pos satpam. Dengan tubuhnya yang mungil (enggak ada yang nyangka kalau dia mahasiswa angkatan 2005!), ia berlari seperti anak kecil dari tangga ke kantor BEM.
Amshar, pria kurus berwajah tirus melakukan aktivitas sama seperti pagi-pagi sebelumnya, membaca koran on line bersama kekasih setianya, laptop, kacamata tebal dengan sebatang A Mild. Sesekali keningnya berkerut membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di koran. Bahkan anak-anak BEM jarang yang betah berada di kantor kalau ada Amshar disana. Bagaimana mau betah kalau disana berlaku pepatah ”Dimana ada Amshar, disitu ada debat”. Ya, walau ceking begitu Amshar punya hobi debat. Bahkan julukan jawara English Debate dan English Politic Speech Competition sudah begitu melekat pada dirinya. Kalau ada mahasiswa dari kampus lain mencari Amshar, cukup bertanya dengan satu orang saja di kampus Ekonomi ini, pasti dapat dengan mudahnya Amshar ditemukan. Ajaib! Tak ada yang tak kenal Amshar. Bukan karena saking cekingnya dia, tapi karena kebiasaan debatnya itu yang jarang bisa dihilangkan. Dalam kondisi bagaimanapun, bersama siapapun!
Lain Amie, lain Amshar, lain lagi Fandi dan Wati. Seperti Fandi. Siapa di kampus ini yang tak kenal Fandi???. Bahkan cleaning service kampus saja, sampai hafal pribadi kepala departemen di BEM yang dikenal tempramental. Tapi juga ramah dan mau menyapa semua orang. Kalau kita sudah membuatnya kesal, dan tidak mampu menenangkannya selama jangka waktu lima belas menit, pasti akan ada ”kejutan” kecil dari kekarnya kepalan tangan mahasiswa atletis yang juga menjabat sebagai ketua UKM Pencak Silat ini.
Tentang neng Wati tak perlu banyak dibahas, karena kalau kita membahas tentangnya, hanya akan membuat para gadis iri hati. Betapa tidak? Dengan status anak pengusaha perhiasan, ia bisa sangat fashionable tiap minggunya. Bahkan dengan mudahnya ia bisa memesan produk yang limited edition lewat internet. Wajah mulusnya tak lain tak bukan karena dukungan facial care dari salon ternama di Indonesia, tubuhnya yang wangi itu dari parfum import asli Paris, yang jangan ditanya harganya. Pokoknya, gadis yang satu ini hobi belanja!. Tapi ada satu hal dari Wati yang membuat orang lain berdecak kagum karenanya, Wati juga punya hobi ke Panti Asuhan. Tak hanya menyumbangkan sebagian uang jajannya, ia menjadi pekerja sosial part time di sana.
Sudah lah, stop deskripsi penghuni kantor BEM hari ini. Yang penting sekarang adalah memerhatikan percakapan antara mereka di dalam sana.
”Elo udah baca apa berita di internet hari ini Shar? Ato minimal kemaren gitu?”, tanya Fandi sambil membuka halaman kedua koran yang baru saja diletakkan Amie di sudut meja komputer.
”Sabar cuy!”, jawab Amshar sekenanya sambil berkali-kali meng-klik mouse laptopnya.
”Ya jangan lama-lama”
”Ya sabar lah Fan!”, Wati menepuk bahu Fandi pelan dari belakang.
”Weitttz!!!!!”, pekik Amshar mengagetkan Fandi, Amie dan Wati.
”Apaan kawan?”, tanya Fandi, Amie, Wati berbarengan.
“Nih! Ini baru namanya berita! Kudu tahu lo, Ti”
”Apaan?”, Wati heran. Ia berjalan mendekati Amshar sambil mengenakan kacamatanya.
”Gimana?”
”Haaaaaa!!!!!! Sini gue baca dulu!”
“Emang kapan sih lo Fan diwawancara ini? Polos banget lo yang kayak gini gak elo suruh off air? Siapa yang wawancara elo pas ini?”
“Apaan??”, Fandi mendekati Amshar dan Wati.
“Ya elah….ni anak minta ditabok bener! Gue udah nyuruh matiin recorder, malah enggak dimatiin ternyata! Gue enggak sengaja cerita ini. Soalnya gue kira waktu itu wawancara dah selesai. Gue ma dia dah becanda-becanda gitu sih cuy! Kayaknya kita kudu gerak nih Ti! Ayo!”
Penghuni kantor BEM hari itu jelas panik begitu membaca headline ”Ada Mark Up di Balik Pintu BEM”. Jangan tanya apa isi beritanya. Yang jelas intinya, ketika aku mewawancarai Fandi, dia juga sempat tidak sengaja mengisahkan tentang beberapa kecurangan yang dilakukan oleh pihak BEM berkenaan dengan LPJ Keuangan mereka. Sempat ada mark up disana sini. Mark up anggaran kepanitiaan Lomba Karya Tulis Ilmiah, mark up anggaran kepanitiaan English Debate yang jumlahnya jutaan rupiah yang ternyata dipakai Amshar untuk kursus bahasa Inggris, belum lagi mark up anggaran dana operasional UKM Pencak Silat. Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Memang susah mengobrol dengan wartawan persma. Jangan asal kalau tidak mau ketahuan belangnya ( =P ).

∞ ∞ ∞ ∞ ∞ ∞ ∞ ∞ ∞ ∞ ∞ ∞ ∞

Tiga hari berselang, dengan kening agak berkerut, Riena, sekretaris BEM membaca surat panggilan dari komisi keuangan Badan Perwakilan Mahasiswa. Ia heran dengan panggilan yang satu ini, karena yang ia tahu, LPJ keuangan BEM sudah beres. Ditempelkannya surat itu di atas gabus.
Fandi yang ada di kantor BEM bersama staffnya bergegas menuju parkiran basement usai membaca surat panggilan itu. Sudah ada Wati di sana. Salah satu staffnya, menurut pesan singkat yang dibacanya, sedang bersamaku menuju basement. Tak ada hal lain yang kupikirkan selain Awan mengajakku nongkrong sebentar di parkiran.
Sampai di parkiran, aku terbelalak dan benar-benar kaget. Ada Wati yang sudah berkacak pinggang disana. Ada Fandi yang sedang berjalan mendekati Wati.
”Daaaa......sar wartawan sial!!! Elo ngapain nulis kayak gini di media?? Cari mati lo??? Lo enggak tahu siapa gue?”, Wati membentakku sambil menempelkan halaman koran berisi berita utama yang membahas kebobrokan squad BEM.
”Heh! Gue kan kemaren bilang off air! Ngapain malah elo tulis bego???!!!”, Fandi ikut membentakku.
“Gue bisa jelasin cuy! Tapi jangan maen kasar gini dong!”, kedua tanganku dipegang erat oleh dua orang staff Fandi. Tanpa ba bi bu lagi Wati langsung menamparku. “eh! Apaan nih? Maen kotor nih?”.
”Debug!!”, Fandi mendorongku ke dinding parkiran, aku sedikit tertunduk kali ini.
”Bag!!”, satu pukulan dari Fandi melayang lagi ke tulang pipiku. Saat aku mendongakkan leher, satu pukulan lagi dari Wati mendarat di pipiku. Aku terjatuh dengan bersimbah darah di kemeja dan kerudungku.
“Gue enggak sengaja sob!”, ucapku lirih. Mereka beranjak dari parkiran meninggalkan aku, yang terjerembab di lantai yang (kebetulan) berlumur oli, ciri khas parkiran.
”Aduuh.....retak nih tulang pipi gue. Akh......h....mampus gue....Dimas....elo dimana sih?? Bantu gue kek sob!” Tak lama Dimas datang ke parkiran dengan terengah-engah, mataku menyipit, Dimas datang dengan dua badan di mataku, kemudian……....sepertinya aku pingsan.

Pukul delapan malam, tiga hari setelah tragedi ”eksekusi” tulang pipiku oleh BEM anarkis kampus.
Kadept dan staff keuangan BEM berada dalam ruangan BPM yang tertutup rapat. Ruangan yang satu ini benar-benar eksklusif. Seperti studio musik, dindingnya dipasangi lapisan kedap suara. Jelas saja supaya suara dari ruangan yang dikeramatkan oleh para fungsionaris lembaga itu tak terdengar dari luar sana, karena rapat-rapat yang dilaksanakan dalam ruangan BPM sudah pasti sangat penting dan rahasia. Uh....sangar!!!.
Rapat sudah dimulai dengan doa dan salam. ”Oke temen-temen gak usah tegang, santai aja yah!”, ujar mbak Vivi, ketua komisi keuangan BPM.
”Ya mbak....em....ngomong-ngomong, kami dipanggil kemari mau bahas apa ya mbak? Bukannya laporan keuangan kami sudah beres dan sudah mbak acc?”, tanya Ratih, kadept keuangan BEM.
”Terima kasih sebelumnya karena kalian mau memenuhi panggilan kami. Tapi kalian yakin LPJ keuangan kalian beres???”, selidik Aryo, staff komisi keuangan BPM. Cowok berdarah campuran Solo dan Medan ini kemudian mengeluarkan potongan artikel tabloid Executive e-News yang pastinya baru ia print setelah didownload dari website BEM universitas.
Wajah Ratih menyiratkan kekhawatiran, ia berbisik pada staffnya. BPM mengulangi pertanyaan mereka, ”Yakin LPJ kalian bersih?”
”Yakin mbak!”
Aryo kemudian mengeluarkan handphone dari saku jas almamaternya, ”Assalamu’alikum Febri??? Bagaimana kondisi kamu? Sudah baikan? Bisa ke kantor BPM ga sekarang? Langsung ke ruang komisi keuangan ya? Makasih. Wassalamu’alaikum”.
Aku berlari terengah-engah menuju ruang komisi keuangan BPM. Kudapati banyak sepatu diluar ruangan, ada salah satu sepatu yang aku sangat hafal sekali, pasti punya mbak Ratih, Kadept keuangan BEM. Firasatku mengatakan bahwa kesaksianku sangat dibutuhkan dalam pembicaraan kali ini. Dan benar!
”Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumsalam”
, seluruh isi ruang menjawab salam keselamatanku.
”Febri, maaf kalau merepotkan kamu, tolong hubungi Fandi. Minta dia ke ruangan ini saat ini juga”, pinta Mbak Vivi.
”Iya..mbak”, aku tergagap sambil meraih handphone dari tas ranselku.
”Halo, Fandi....elo lagi ngapain?”
”Ya. Ngapain lo nelpon gue? Nyari masalah lagi lo?”, suara Fandi dari seberang sana begitu kasar dan memekakkan telingaku yang sensitif.
”Enggak ada apa-apa, gue cuman nyampein pesen mbak Vivi, elo disuruh ke ruang komisi keuangan BPM sekarang. Ga boleh enggak”, ujarku cepat dan langsung tujuan. Sambungan telepon terputus.
Fandi mengernyitkan dahi sesaat usai menutup telepon. Fandi masih berada di kost saat aku menelponnya tadi. Ia mulai teringat headline Executive e-News yang baru ia beberapa hari yang lalu. Diingatnya pula ketika ia menghantam tulang pipiku dengan setengah tenaga prianya. Mahasiswa Merpatia berambut ”sangat rasta” ini, mondar mandir di kamarnya seluas 4 x 4 meter persegi. Kemudian puncaknya, ia berjalan ke kamar mandi dan mengguyur kepalanya dengan air dingin dari shower. Air dingin itu menjadi hangat ketika turun ke badannya. Dadanya berdegup kencang mengingat mark up kecil yang sering ia lakukan.
”Gila nih! Gawat! Mampus gue!”, berulang kali hanya tiga kata itu yang terucap dari bibirnya yang begitu hitam karena rokok. Usai mandi, ia baringkan tubuhnya ke dalam bath tub. Ia alirkan air hangat ke dalamnya, memenuhi seluruh tubuhnya.
”Tenang cuy, tenang! Elo gak usah grogi! Jangan grogi! Elo grogi, elo mati!”, Fandi mencoba tenang. ”gila!!!!!”, teriaknya lagi.
Kemudian ia keluar dari bath tub, menaburkan banyak garam mandi ke dalam air. Kemudian ia berendam kembali. Perlahan pikirannya kembali jernih, nafasnya perlahan mulai teratur. Tapi dahinya masih saja berkerut.
”Gila, gue mesti ngomong gimana sama komisi keuangan ntar? Gila!!!!”, teriaknya sekali lagi, sambil ia mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Dibalutnya tubuhnya dengan kemeja kotak-kotak yang sudah ia siapkan di kamar.
”Hello”, suara dari depan pintu kamarnya tiba-tiba mengagetkannya. Jelas, karena ia merasa ia sudah menutup pintunya rapat-rapat.
”Allyce!!!???”, teriak Fandi. ”elo kok bisa disini say?”
”Ya bisa lah!”, kemudian Allyce keluar lagi dari kamarnya. ”cepet pake baju lo!, gue mau nanya soal headline itu!”
”Kok elo bisa tahu say?”, tanya Fandi pada Allyce usai mengenakan pakaiannya.
”Elo kira gue gaptek banget mpe gak bisa buka internet gitu???”
”Ya enggak gitu maksud gue”
”Kita putus!!! Gue enggak nyangka elo serendah itu!!!. Udah! Gak usah hubungin gue lagi! Anggap aja kita enggak pernah ketemu!. Bye!”, Allyce beranjak pergi dengan langkah cepat. Fandi hanya bisa tertunduk lesu di depan pintu pagar, tak mampu menyusul motor Allyce yang digebernya 100 km/jam.
”Mati lah gue! Jomblo lagi deh!”
Alunan Critical Aclaim milik Avenged Sevenfold memenuhi ruang kamar Fandi, dengan ragu ia mengangkat panggilan dari handphonenya, ”Halo?”
”Ya, Fandi! Cepet elo kesini!”, mbak Vivi mulai tidak sabar menunggunya.
”Ya mbak, bentar lagi, baru mau berangkat”, telepon terputus tiba-tiba. Sangat kasar.
Lima belas menit perjalanan dari kost Fandi menuju kampus FE Merpatia. Dengan langkah yang cukup meyakinkan, ia menuju ruang DPM. Tak ada ketakutan yang tersirat di wajahnya seperti yang ia takutkan saat masih di kamar kost tadi.
”Halo Fandi!”, sapa Aryo.
”Ya! Kenapa ya gue dipanggil kesini?”
”Departemen Keuangan BEM yakin LPJ mereka udah bersih, tapi komisi keuangan BPM enggak yakin! Elo bisa bantu nanggepin?”, tanya Aryo jelas, singkat.
”Gue itu anak Jaringan dan Advokasi. Apa hubungannya gue sama LPJ keuangan coba? BPM cerdas dikit dong?”, Fandi berujar dengan intonasi tinggi.
”Heh! Kita cuman tanya! Oke, sekarang gue minta elo jelasin tentang isi artikel hasil wawancara elo sama Febri beberapa waktu yang lalu. Cepet!!”, Mbak Vivi mulai meradang.
”Itu........itu...”, Fandi tergagap.
”Itu apa????!!!!”, mbak Vivi mulai kasar.
”Oke, itu emang bener! Wawancara itu emang bener. Enggak ada rekayasa. Mark up emang sengaja gue lakuin karena BPM kalo ngasih dana selalu minim. Kita minta segini, dikasihnya malah setengahnya! BT! Terus kalian mau apa??!!”, Fandi teriak kesal. Sepertinya seluruh kebenciannya pada BPM memuncak di ruang itu. Ia juga tak sadar kalau recorder di handphone milikku sedang aktif. (Memang harus hati-hati terhadap orang media ya! Dikit-dikit mainnya rekam!)
”Jadi itu semua bener?”, tanya mbak Vivi lagi.
”Ratih? Kalian mau nambahin kata-kata? Argumen, execuse, alasan, yah atau yang lainnya?”, tanya Aryo pada Ratih dan staffnya yang tertunduk diam, lesu semenjak kedatangan Fandi di ruangan itu. Mereka tak bergeming.
”Oke, mumpung ada Wanda, sekjend BPM kita”, tambah Aryo.
”Maksud elo?”, tanya Fandi lemas.
”Ya, kamu dipecat dari jabatanmu sebagai Kepala Departemen Jaringan dan Advokasi, dan sebagai fungsionaris BEM kita!”, tegas mbak Vivi yang wajahnya mulai merah padam menahan amarah pada Fandi.
”Dan kamu Ratih, kamu beserta staff diskorsing dari aktivitas kelembagaan selama 3 bulan. Karena kami ikut andil membuat LPJ keuangan palsu”, Aryo mengucapkan sanksi itu dengan sangat tegas. Setegas garis wajah Medan yang ia bawa dari ibunya, yang asli Brastagi. Dan aku.........mengelus-elus tulang pipiku yang pernah lebam, sambil tersenyum puas bisa merekam dialog ”sidang” tadi. Alhamdulillah....., batinku. [ (_)<1/_ ]

0 komentar:

Post a Comment