Thursday 7 April 2011

AQUA Dalam GCG

Secara umum istilah governance lebih ditujukan untuk sistem pengendalian dan pengaturan perusahaan, dalam arti lebih ditujukan pada tindakan yang dilakukan eksekutif perusahaan agar tidak merugikan para stakeholder. Good Corporate Governance memang menyangkut orang (moralitas), etika kerja, dan prinsip-prinsip kerja yang baik. Corporate governance yang buruk disinyalir sebagai salah satu sebab terjadinya krisis ekonomi politik Indonesia. Konglomerat yang tidak baik dalam menjalankan usaha dan pemerintah yang korup adalah contohnya.

Menyehatkan ekonomi nasional juga berarti menerapkan prinsip Good Corporate Governance ini dalam perusahaan-perusahaan di Indonesia. Pentingnya GCG dalam menjalankan sebuah perusahaan akan menggiring perusahan menjadi perusahan yang semakin sehat. Perkembangan usaha dewasa ini telah sampai pada tahap persaingan global dan terbuka dengan dinamika perubahan yang demikian cepat. Dalam situasi kompetisi global seperti ini, Good Corporate Governance (GCG) merupakan suatu keharusan dalam rangka membangun kondisi perusahaan yang tangguh dan sustainable.

Perkembangan terbaru membuktikan bahwa manajemen tidak cukup hanya memastikan bahwa proses pengelolaan manajemen berjalan dengan efisien. Diperlukan instrumen baru, Good Corporate Governance (GCG) untuk memastikan bahwa manajemen berjalan dengan baik. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, dan transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder. Dari berbagai hasil pengkajian yang dilakukan oleh berbagai lembaga riset independen nasional dan internasional, menunjukkan rendahnya pemahaman terhadap arti penting dan strategisnya penerapan prinsip-prinsip GCG oleh pelaku bisnis di Indonesia. Selain itu, budaya organisasi turut mempengaruhi penerapan GCG di Indonesia.

Penerapan GCG Di Indonesia
Krisis ekonomi yang menghantam Asia telah berlalu lebih dari delapan tahun. Krisis ini ternyata berdampak luas teutama dalam merontokkan rezim politik yang berkuasa di Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia. Ketiga negara yang di awal tahun 1990-an dipandang sebagai “the Asian tiger”, harus mengakui bahwa pondasi ekonomi mereka rapuh, yang pada akhirnya merambah pada krisis politik. Setelah delapan tahun, sejak krisis tersebut melanda, kita sekarang dapat melihat pertumbuhan kembali negara-negara yang amat terpukul oleh krisis tersebut. Korea Selatan yang pernah terjangkit kejahatan financial yang melibatkan para eksekutif puncak perusahaan-perusahaan blue-chip, kini telah pulih. Perkembangan yang sama juga terlihat dengan Thailand maupun negara-negara ASEAN lainnya.

Bagaimana dengan Indonesia?. Era pascakrisis ditandai dengan goncangan ekonomi berkelanjutan. Mulai dari restrukturisasi sektor perbankan, pelelangan asset para konglomerat, yang berakibat pada penurunan iklim berusaha (Bakrie,2003). Kajian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) menunjukkan beberapa faktor yang memberi kontribusi pada krisis di Indonesia. Pertama, konsentrasi kepemilikan perusahaan yang tinggi kedua, tidak efektifnya fungsi pengawasan dewan komisaris, ketiga; inefisiensi dan rendahnya transparansi mengenai prosedur pengendalian merger dan akuisisi perusahaan; keempat, terlalu tingginya ketergantungan pada pendanaan eksternal; dan kelima, ketidak memadainya pengawasan oleh para kreditor.

Awal Pendirian
Aqua merupakan pelopor industri air minum di Indonesia. Kalau kita mau menilik sedikit pada sejarahnya, AQUA didirikan oleh Tirto Utomo, warga asli Wonosobo yang setelah keluar bekerja dari Pertamina mendirikan usaha air minum dalam kemasan (AMDK) tahun 1920-1994. Lelaki ini yang menggagas awal ide AMDK. Kegiatan fisik perusahaan dimulai sejak tanggal 2 februari 1973, ditandai dengan dibangunnya pabrik di kawasan Pondok Ungu, Bekasi, Jawa Barat. Sedangkan untuk produk komersilnya dimulai sejak tanggal 1 oktober 1974. Pada mulanya produk yang dihasilakn oleh AQUA adalah air mineral botol kaca 950ml yang kemudian disusul dengan AQUA 5 galon. Memasuki tahun 1974 sampai dengan 1978 merupakan masa sulit AQUA. Dikarenakan minimnya tingkat permintaan masyarakat terhadap produk AQUA.

Pada mulanya segmen dari AQUA adalah masyarakat golongan kelas menengah ke atas, baik perkantoran maupun rumah tangga. sehingga muncul produk baru yaitu AQUA berukuran 1500ml, 500ml, dan juga 220ml. Dengan diversifikasi ini menjadikan masyarakat memiliki pilihan untuk membeli air mineral tersebut. Ditambah dengan perujbahan kemasan yang pada awalnya hanya menggunakan kaca beralih ke plastik. Dengan ini distribusi dapat menjadi lancar dan juga terhindar dari resiko pecahnya produk di jalan.

Untuk meningkatkan penjualan secara luas dan dapat menjangkau wilayah Indonesia, maka AQUA harus segera meningkatkan kapasitas produksinya. Sampai pada akhirnya aqua memilikik kapasaitas dengan total 1,665 milyar liter per tahun.

Strategi Kemasan
Saat ini produk AQUA terdiri dari beraneka ragam kemasan, baik kemasan ulang-alik (returnable) ataupun sekali pakai (disposable)
Kemasan sekali pakai terdiri atas:
- Botol PET (Poly Ethelene Terephthalate) : 1500 ml, 625 ml, 600 ml, 330 ml
- Gelas plastik PP (Poly Propelene) : 240 ml
Kemasan sekali pakai terdiri atas
- Botol Kaca: 375 ml
- Botol PC (Poly Carbonate): 5 Galon (19 lt)
Langkah AQUA dari tahun ke tahun :
- 1993 Menyelenggarakan program AQUA Peduli (AQUA Cares), sebagai langkah pendauran ulang botol plastik AQUA menjadi materi plastik yang bisa dapat digunakan kembali.
- 1995 AQUA menjadi pabrik air mineral pertama yang menerapkan sistem produksi in line di pabrik Mekarsari. Pemrosesan air dan pembuatan kemasan AQUA dilakukan bersamaan. Hasil sistem in line ini adalah botol AQUA yang baru dibuat dapat segera diisi air bersih di ujung proses produksi., sehingga proses produksi menjadi lebih higienis.
- 1998 Penyatuan AQUA dan grup DANONE pada tanggal 4 September 1998. Langkah ini berdampak pada peningkatan kualitas produk dan menempatkan AQUA sebagai produsen air mineral dalam kemasan (AMDK) yang terbesar di Indonesia.
- 2001 DANONE meningkatkan kepemilikan saham di PT Tirta Investama dari 40 % menjadi 74 %, sehingga DANONE kemudian menjadi pemegang saham mayoritas AQUA Group. AQUA menghadirkan kemasan botol kaca baru 380 ml pada 1 November 2001.
- 2002 Banjir besar yang melanda Jakarta pada awal tahun menggerakkan perusahaan untuk membantu masyarakat dan juga para karyawan AQUA sendiri yang terkena musibah tersebut. AQUA menang telak di ajang Indonesian Best Brand Award. Mulai diberlakukannya Kesepakatan Kerja Bersama [KKB 2002 - 2004] pada 1 Juni 2002.
- 2003 Perluasan kegiatan produksi AQUA Group ditindaklanjuti melalui peresmian sebuah pabrik baru di Klaten pada awal tahun. Upaya mengintegrasikan proses kerja perusahaan melalui penerapan SAP (System Application and Products for Data Processing) dan HRIS (Human Resources Information System).
- 2004 Peluncuran logo baru AQUA. AQUA menghadirkan kemurnian alam baik dari sisi isi maupun penampilan luarnya. AQUA meluncurkan varian baru AQUA Splash of Fruit, jenis air dalam kemasan yang diberi esens rasa buah strawberry dan orange-mango. Peluncuran produk ini awalnya ingin memperkuat posisi AQUA sebagai produsen minuman, namun karena kurangnya sosialisasi kepada konsumen, bahwa sebenarnya AQUA Splash Of Fruit bukanlah air mineral biasa namun masuk dalam kategori beverages. Sehingga di dalam penjualannya tidak boleh dijemur seperti produk air mineral, namun harus dimasukan kedalam lemari pendingin atau cooling box
- 2005 DANONE membantu korban tsunami di ACEH. Pada tanggal 27 September, AQUA memproduksi MIZONE, minuman bernutrisi yang merupakan produk dari DANONE. MIZONE hadir dengan dua rasa, orange lime dan passion fruit.
- 2006-2008 DANONE berupaya untuk membuat pabrik di Serang, namun karena DANONE di demo oleh warga sekitar, Bupati, DPRD dan LSM, serta terlebih lagi kasus ini sudah sampai Gubernur Banten yang bukan menjadi rahasia merupakan Putri dari 'penguasa' Banten maka DANONE dengan terpaksa 'kalah' atau membatalkan atau mundur dari pembuatan Pabrik di Serang. Walapun sebenarnya sebenarnya DANONE bisa berhasil membuat pabrik di Serang seandainya DANONE mau membuatkan fasilitas umum yaitu Air Bersih bagi warga sekitar, karena sebenarnya yang dibutuhkan warga sekitar itu hanyalah Air Bersih bukannya hanya sekedar survey atau malah penghijauan. Keadaan inilah yang sayangnya justru dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk mencari 'keuntungan' pribadi.

Jika kita melihat sedikit sepak terjang yang dilakukan oleh AQUA ada beberapa hal menarik yang dapat kita pelajari dari rentetan sejarah yang pernah dimana pada ada pola ekspansi yang dilakukan oleh AQUA dengan menggandeng DANONE sebagai mitra dengan tujuan untuk menjadikan AQUA-DANONE air minum dalam kemasan terbesar di Indonesia. Terbukti setelah proses merger tersebut pihak DANONE menambah saham kepemilikan mereka dari 40% menjadi 74 %. Hal ini sekaligus memantapkan posisi DANONE dalam AQUA group.

Dalam hal pemasaran AQUA mencoba mencari beberapa alternatif menjanjikan untuk mengembangkan pola produk yang ada di dalamnya. Terbukti dengan adanya diversifikasi produk seperti, Air mineral (Aqua itu sendiri), kemudian dengan adanya AQUA Splash of Fruit, jenis air dalam kemasan yang diberi esens rasa buah strawberry dan orange-mango, dan juga MIZONE yang menjadi petarung untuk berhadapan dengan minuman isotonik yang ada.

Kemudian dalam hal sosial AQUA sebenarnya telah melakukan beberapa kegiatan sebagai bentuk CSR (Corporate Social Responsibility) kepada masyarakat sekitar. Hal ini merupakan salah satu bentuk etika perusahaan yang coba dilakukan oleh pihak AQUA dalam perjalannannya menuju GCG. Seperti yang dilakukannya pada tahun 2002 yaitu banjir Jakarta, kemudian pada saat tsunami Aceh. Aqua merupakan pelopor bisnis AMDK, dan saat ini menjadi produsen terbesar di Indonesia. Dan kita meyakini bahwa pangsa pasar Aqua saat ini telah merambah ke pasar yang lebih luas yaitu kawasan Asia Tenggara. Untuk di Indonesia sendiri, keseluruhan produk yang dijual AQUA mencapai 50-60% penjualan AMDK yang ada di Indonesia. Sejak dipeloporinya AMDK oleh AQUA maka Sejak saat itulah, orang Indonesia mulai mengkonsumsi AMDK dengan membeli.

Danone, sebuah korporasi multinasional asal Perancis, mulai unjuk gigi ketika memasuki masa 15 tahun terakhir. AQUA Danone berambisi untuk memimpin pasar global lewat tiga bisnis intinya, yaitu: dairy products, AMDK dan biskuit. Sedangkan untuk produk AMDK, Danone mengklaim telah menempati peringkat pertama dunia lewat merek Evian, Volvic, dan Badoit. Sebagai produsen AMDK nomor satu dunia, Danone harus berjuang keras menahan gempuran Coca-Cola dan Nestle. Danone terus menambah kekuatannya dengan memasuki pasar Asia, dan mengambil alih dua perusahaan AMDK di Cina.

Semenjak tahun 1998 ketika Danone berhasil membeli saham Aqua maka secara resmi diumumkanlah “penyatuan” kedua perusahaan tersebut. Lalu kemudian babak baru dimulai dengan diluncurkannya Aqua – Danone. Korporasi ini kemudian meningkatkan kepemilikan saham di PT. Tirta Investama dari semula 40% menjadi 74%, sehingga Danone kemudian menjadi pemegang saham mayoritas Aqua-Danone.

AQUA Danone Dalam Bingkai GCG
Aqua adalah sebuah merek air minum dalam kemasan (AMDK) yang diproduksi oleh Aqua Golden Mississipi di Indonesia sejak tahun 1973. Selain di Indonesia, Aqua juga dijual di Singapura. Aqua adalah merek AMDK dengan penjualan terbesar di Indonesia dan merupakan salah satu merek AMDK yang paling terkenal di Indonesia, sehingga telah menjadi seperti merk generik untuk AMDK. Di Indonesia, terdapat 14 pabrik yang memroduksi Aqua.

Sejak tahun 1998, Aqua sudah dimiliki pula oleh perusahaan multinasional dari Perancis, Danone, hasil dari penggabungan Aqua Golden Mississippi dengan Danone. Tirto berjasa besar atas perkembangan bisnis atau usaha AMDK di Indonesia, karena sebagai seorang pioneer maka Almarhum berhasil menanamkan nilai-nilai dan cara pandang bisnis AMDK di Indonesia.

Dimana dalam sebuah manajemen diperlukan adanya good corporate governance dalam sebuah manajemen perusahaan. Sedangkan pada tataran realitanya Dalam berbisnis, Aqua-Danone kerap melanggar prinsip good corporate governance (GCG) dan merugikan masyarakat. Salah satu contoh adalah pada eksploitasi air di Kubang Jaya, Babakan Pari, Kabupaten Sukabumi. Mata air di Kubang telah dieksploitasi habis-habisan oleh Aqua sejak tahun 1992. Kawasan yang sebelumnya merupakan lahan pertanian, yang kemudian dirubah menjadi kawasan ‘seperti hutan’ dan juga mendadak dikeluarkannya peraturan bahwa lahan tersebut tidak boleh digarap oleh warga. Penjagaan agar tidak adanya warga yang masuk dilakukan dengan dipagari tembok oleh Aqua-Danone dan dijaga ketat oleh petugas. Tak ada seorang pun yang boleh memasuki kawasan tersebut tanpa surat ijin langsung dari pimpinan kantor pusat Aqua Grup di Jakarta.

Berkaca pada sejarah yang lalu, pada awalnya air yang dieksploitasi adalah air permukaan. Namun sejak 1994, eksploitasi jalur air bawah tanah dilakukan menggunakan mesin bor tekanan tinggi. Implikasinya adalah, menurut beberapa sumber sejak saat itu kualitas dan kuantitas sumberdaya air di wilayah tersebut menurun drastis. Lalu kemudian permainanpun semakin berlanjut ketika masyarakat harus membayar mahal dikarenakan minimnya air bersih yang disebabkan oleh eksploitasi berlebihan oleh pihak Aqua-Danone. Bahkan beberapa sumur menjadi kering. Sebelumnya, tinggi muka air sumur mencapai 1-2 meter. Ketika sumber air belum dieksploitasi, masyarakat hanya menggali sumur sedalam 8-10 meter untuk kebutuhan air bersih. Saat ini, warga perlu menggali hingga lebih dari 15-17 meter, atau membeli mesin pompa untuk mendapatkan air.

Masalah lain di Kubang Jaya adalah, kurangnya ketersediaan air untuk kebutuhan irigasi pertanian. Masalah ini dialami petani dari hampir semua kampung di kawasan desa Babakan Pari. Para petani di beberapa kampung tersebut saling berebut air karena ketersediaan air yang sangat kurang. Bahkan beberapa sawah tidak mendapat bagian air dan mengandalkan air hujan saja. Akibatnya, banyak sawah kekeringan pada musim kemarau dan mengakibatkan masalah perekonomian serius bagi para petani. Hal serupa juga terjadi di Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Aqua-Danone mengeksploitasi air besar-besaran dari sumber mata air sejak 2002. Padahal, mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian. Karena debit air menurun drastis sejak Aqua-Danone beroperasi, maka petani harus menyewa pompa untuk irigasi. Parahnya, untuk kebutuhan sehari-hari pun, warga harus membeli air dari tangki air dengan harga mahal. Hal ini karena sumur-sumur mereka sudah mengering akibat “pompanisasi” besar-besaran yang dilakukan Aqua-Danone. Ini sangat ironis mengingat Kabupaten Klaten merupakan wilayah yang memiliki 150-an mata air.

Hal ini kemudian memicu reaksi dari masyarakat petani dan pemerintah daerah di Kabupaten Klaten pada tahun 2004. Karena Air yang dulu melimpah mengairi sawah, kini mulai mengering dan menyusahkan para petani di Desa Kwarasan, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Akibatnya pemerintah Kabupaten Klaten juga mengancam akan mencabut ijin usaha perusahaan tersebut, tapi sampai saat ini eksploitasi air tanah di Klaten oleh Aqua-Danone masih terus berlangsung. Diperkirakan eksploitasi air yang dilakukan pada sumber-sumber air di Kabupaten Klaten oleh Aqua-Danone mencapai 40 juta liter/bulan (Balai Pengelolaan Pertambangan dan Energi/ BPPE). Jika dengan estimasi harga jual Rp 80 miliar/bulan maka nilai eksploitasi air mencapau Rp 960 miliar/tahun. Sementara itu, untuk eksploitasi di Klaten tersebut, Aqua-Danone/ PT Tirta Investama (AGM) hanya membayar retribusi Rp 1,2 miliar, sebagai PAD Kabupaten Klaten, dan sekitar Rp 3-4 juta pembayaran pajak (Pasal 5 Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Tengah, Tahun 2003). Untuk di sumur Klaten yang seharusnya hanya diizinkan untuk menyedot air sebanyak 20 liter/detik (karena tanpa Amdal), pihak Danone-Group mampu menguras air hingga 64 liter/detik.

Jika kita mau melihat ke dalam, ada 5 pilar utama dalam GCG yaitu:
1.Transparency (keterbukaan informasi), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. AQUA selalu memberi keterbukaan informasi materrril dan relevan sesuai dengan apa yang terjadi saat ini. akan tetapi keterbukaan informasi tersebut masih sebatas pada tataran kepentingan perusahaan. Karena terbuka samapai saat ini AQUA hanya memberikan informasi sebatas bagaimana proses AQUA menemukan mata air. Tapi mengenai bagaimana pengolahan dan dampak ke lingkungan tidak pernah di blowup ke permukaan.
2.Accountability (akuntabilitas), yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. AQUA memiliki fungsi, struktuur , dan sistem boleh kita katakana sudah memenuhi kualifikasi diatas rata-rata. Tapi jangan lupa tentang pertanggungjawaban. Setiap akhir tahun AQUA berwajib untuk memeberikan laporan pertanggung jawaban kepada stakeholder yang ada. karena setiap mereka yang disana memiliki hak untuk mendapatkan pelaporan tersebut.
3.Responsibility (pertanggungjawaban), yaitu kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku. AQUA telah melakukan salah satu pilar GCG yaitu responcibility, akan tetapi ternyata dibalik segala bentuk program CSR AQUA masih banyak yang tertinggal menjadi buah masalah, seperti berkurangnya asupan air untuk lahan pertanian. Disanalah AQUA harus bertanggung jawab untuk mewujudkan GCG. Pilar ketiga ini memberikan satu catatan yaitu dimana CSR harus berangkat dari etika bukan hanya sekedar pencitraan perusahaan.
4.Independency (kemandirian), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manajemen yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Untuk pilar ke empat ini AQUA menurut saya telah mencapai fase kemandirian. Untuk internal control AQUA memiliki sistem yang sudah tersinergi secara apik, akan tetapi beberapa kali AQUA melakukan kecerobohan dan keteledoran dimana AQUA telah melakukan kesalahan procedural bahwa kegiatan yang dilakukan ternyata merugikan warga sekitar, yaitu pengguna air pada umumnya.
5.Fairness (kesetaraan dan kewajaran), yaitu perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.
Pilar kelima inilah kerap menjadi perdebatan panjang. Keadilan memang tidak memiliki tolak ukur yang baku. Akan tetapi ketika tidak ada dari kedua belak pihak merasa tidak dirugikan, bisa dikatakan kesetaraan sudah dilakukan dengan baik.

Pada kasus AQUA sampai saat ini apa yang menjadi kompensasi bagi daerah penghasil atau mata air yang digunakan sebagai sumber AMDK AQUA? Bagaimana dengan kesejahteraan masyarakat sekitarnya? Bagaimana tentang kelestarian lingkungannya? Hal tersebut harus mendapat kajian serius. Karena, kalau mengacu pada ulasan diatas, AQUA belum bisa melaksanakan GCG dengan maksimal. Ketika profitabilitas diatas etika dan tanggung jawab serta kelalaian dal hal tatakelola, maka sulit akan tercapai GCG yang ideal.

0 komentar:

Post a Comment