Sunday 14 November 2010

Tidak sayang nyawa?

Sampai saat ini Merapi telah meletus selama lebih dari 2 minggu lamanya. Banyak korban jiwa berjatuhan, ratusan orang tewas, dan ratusan ribu lainnya diungsikan dari tempat tinggal mereka. Keadaan mereka ini pun bermacam - macam. Ada yag penuh syukur bisa selamat dari terjangan awan panas, ada pula yang secara psikis tidak mampu menerima kenyataan.
Salah satu sebabnya adalah beban pikiran mereka akan harta benda, yang mayoritas
berupa hewan ternak. Selama bencana merapi ini bergulir banyak ternak menjadi korban awan panas. Ada yang langsung tewas karena tidak sempat dievakuasi pemiliknya, ada yang selamat namun terlantar karena sebab yang sama. Seiring dengan masih mengancamnya merapi, zona aman pun diperluas hingga 20 Km dari puncak Merapi. Segala aktivitas dihentikan, semua warga dihimbau atau bahkan dipaksakan untuk mengungsi. Akses menuju desa - desa yang rawan pun ditutup.

Inilah yang menjadi beban pikiran para pemilik ternak mereka. Mereka tetap ingin memberi makan ternak mereka walaupun keadaan sangat tidak kondusif. Mustafa (43 tahun), salah satu pemilik ternak yang bertempat tinggal di dusun Cangkringan ini juga bersikeras ingin kembali kerumahnya untuk memberi pakan ternak. "Kalau benar pemerintah mengganti ternak yang mati dengan harga yang pantas, saya tidak tak khawatir. Yang saya khawatirkan adalah ternak yang tidak mati tapi kurus kering karena tak pernah makan hanya dihargai perkilo saja, bisa bangkrut saya", keluhnya. Mustafa sendiri telah mengecek ternaknya Sabtu, 13 November kemarin, tentunya tetap mengikuti instruksi dari aparat apakah keadaan masih berbahaya atau tidak. "Yang dilakukan pemerintah hanya mendata ternak, kenapa toh ga sekalian dievakuasi, atau malah langsung dibeli saja", tambahnya.

Selama ini pemberitaan media sedikit menyudutkan warga-warga yang berikeras bertahan dizona bahaya awan panas. Image masyarakat luas yang terbentuk dari situasi itu adalah warga lebih sayang nyawa ternak mereka dari pada nyawa mereka sendiri. Padahal mereka hanya berikhtiar menjaga salah satu harapan kelangsungan hidup mereka, tidak hanya pasrah menatap bencana.

Oleh : Tri Anggoro

0 komentar:

Post a Comment